Suara-Suara Kecil yang Habis Ditelan Sendiri
Matahari mulai bertaji, tunjukkan hangat setelah embun-embuh baru saja menunjukkan segala yang ia punya. Kopi tubruk panas dan gemblong manis sisa pagi kemarin menjadi kawan, sebelum tergepal tangan hadapi dunia. Terlampau berlebihan, jika menghadapi dunia seperti hendak perang. Seolah-olah kita tidak boleh takluk di tempat dimana seharusnya kita bahkan sedikit pun tak boleh berpikir untuk tak menerimanya. Namun, tetap saja penolakan-penolakan hadir dari manusia.
Penolakan-penolakan, kita lakukan saban waktu hingga dalam aktivitas sederhana: menolak untuk tidak menjadi malas, menolak bangun siang dengan bangun pagi, menolak untuk tidak meminum kopi, dengan menyeduhnya, menolak untuk berdiam diri, denggan memutuskan untuk menjalani hari. Dalam hidup, kita selalu menolak. Terlepas menolak yang baik atau buruk. Sungguh, tidaklah boleh ada pernyataan dan pendapat yang memonopoli. Baik menurut kita, belum tentu baik menurut orang lain, dan sebaliknya. Sudah seharusnya kita mempunyai tiang penerimaan yang kuat, hingga tak goyah menyangga atap-atap perbedaan yang begitu rapuh di saban harinya.
Setiap orang melakukan penolakan terhadap setiap hal yang ia lakukan, tapi tak setiap orang berani menyatakan bahwa ia menolak. Tak setiap orang memiliki keberanian yang sama. Tak setiap orang memiliki keberanian menolak hal yang tak berasal dari hatinya yang terdalam hanya karena takut berjalan sendirian. Kita menolak berkata jujur bahwa makanan yang disediakan seorang juru masak adalah makanan yang tak enak, hanya karena kita memiliki kedekatan berlebih. Banyak contoh lain yang membuat kita tak berani bersikap dan becengkrama dengan risiko atas sikap yang diambil. Hingga suara-suara kecil bahkan pekikkan itu tak kita indahkan, tak kita gubris, tak kita anggap itu penting apalagi mendesak.
Di ruang sendiri dan keluh-kesah soal keberanian tentang bersikap tadi, sudah sepatutnya kita menghadirkan Jason Ranti. Bersapa halo sejenak dengannya, lalu membiarkan ia berdakwah dengan petik gitar-yang suaranya genit, kadang mencubit. Ia mungkin tak akan mengukur kedalaman pemahamanmu, namun ia berani mengambil jalan oposisi atas pelibatan rasa dan nuranimu, jika memang kedua hal tersebut tidak kamu libatkan. Suara Jeje, dewasa ini dapat dijadikan simbol penolakan. Iya, menolak untuk berani berkeluh-kesah dengan jujur, menyampaikan apa yang selama ini hanya bisa orang pendam dalam-dalam. Meneriakkan apa yang seharusnya tak menyakitkan urat leher dan tenggorokan. Menyampaikan setiap suara dengan gembira. Walau kadang benturan-benturan realita masih saja sama. Setidaknya dengan mendengar Jeje, suara-suara kecil dalam diri, dapat kita dengarkan utuh. Jika dengan Jason Ranti, kita masih saja sama. Atau malah dengan mendengarnya kita bermasalah. Mungkin alam melakukan penolakan atas kehadiran kita, yang hidup hanya numpang ketawa…