Satu Petang di Istana Presiden

Sostel
3 min readSep 16, 2019

--

— Teruntuk Idolaku, BJ Habibie

Kota menangis, deras hujan membasahiku setelah lima puluh langkah dari pagar Istana. Aku mengenakan batik lengan panjang, celana bahan, lengkap dengan pantofel hitam dan rambut klimis mengkilap berkat pomad, melangkahkan kaki menuju kediaman presiden. Pengalaman pertama yang mendebarkan sekaligus sangat haru ku alami. Anak yang dulu hanya bisa berandai-andai, hari itu seperti mengulang hari dimana pertama kali mendapat bola sepak untuk dimainkan. Bahagia bukan main. Kali pertama mendapat undangan masuk istana.

Di petang itu, tokoh-tokoh negara hadir. Aku tertegun, bagai tak percaya. Entah dengan cara apa, telepon genggamku dapat lolos dari penjaga. Banyak momen kuabadikan diam-diam. Aku mulai biasa berada di dalam suasana tenang dan suasana kenegaraan yang amat kaku bagiku.

Sambutan demi sambutan dilakukan sebelum sambutan Presiden. Pada sambutan kedua, seorang berkacamata, bertubuh tidak tinggi, naik ke depan dan mengucap salam. Mataku tak lepas, dari matanya yang seolah ingin mengatakan lebih banyak kata dari pada kata yang keluar dari mulutnya. pandangan yang tajam seolah penanda akan kesungguhannya berucap. Kalimat keluar atas dasar kerelaan yang amat. Aku planga-plongo tak percaya dapat menyaksikan beliau dengan semangat mengobarkan optimisme. Seorang yang sejak Sekolah Dasar menjadi idola.

Tak cukup media untuk menjabarkan bagaimana dan apa yang akan didapat darinya. Akan termat banyak hal yang tak banyak orang tahu untuk diceritakan. Buku-buku tentang beliau menjadi bacaan wajib bagiku. Inspirator yang tanpa cela. Orang-orang bahkan lebih banyak tahu tentang cerita cinta, sedang aku lebih banyak ingin tahu bagaimana ia tumbuh menjadi diri sendiri dan menjalaninya sampai habis napas.

Acara formal selesai, tamu-tamu bergegas ke museum karena diarahkan. Aku mencari cara untuk bertatap lebih dekat dengan setiap orang yang akan sangat jarang kutemui. Hingga momen itu terjadi, beliau menghampiri, aku dengan cepat mengambil tangannya dan bersalaman. “Saya lihat kamu salah-satu yang paling muda”. Ia tiba-tiba menyapa. Dengan rendah nada aku sampaikan, “iya pak, saya masih kuliah”. Beliau lanjutkan, “Baguss.. bagus.. biasanya yang muda-muda ini sudah panggil saya eyang (sambil tersenyum), kuliah dimana? semester berapa?”. Aku jawab semua pertanyaan itu dengan degub jantung tak seperti biasanya. aku katakan, “iya pak, dalam keluarga saya, tidak ada tradisi memakai kata eyang. Alasan lain, saya sudah amat menganggap Bapak sebagai orang yang layak dipanggil demikian. Bapak Bangsa. Saya kuliah di Bogor semester 6. saya pernah hadir di rumah Bapak dalam satu kegiatan waktu SMA”. Dengan tajam matanya ia merespons, “Wah.. SMA yaa, saya ini sudah berumur, sudah barang biasa kalau lupa. Kalau begitu, saya tunggu kamu 15–20 tahun lagi kita bangun semuanya jauh lebih baik lagi”. Beliau menepuk punggungku.

Sejak saat itu, aku berpikir tentang menjadi lebih baik. Sejak petang itu, aku merasakan tiga menit yang sungguh berharga dalam hidup. Teruntuk sang inspirator, di surga..

Riuh doa menyesakki perjananmu, bendera diturunkan atas nama duka. Cerita pelbagai rupa menguap, cinta dan perjalanan dikupas tuntas. Buku-buku di kamar basah, dibanjiri tangis akan anganmu yang masih dalam entah. Semangat dibagikan ke siapa saja. Anak muda pasang sabuk, belajar mengemudi agar pandai. Kalimat-kalimat tak ada artinya, jika satu Rudi tiada, tidak bangun Rudi yang berjuta.

--

--

Sostel
Sostel

Written by Sostel

Senang menulis dan berbagi apa saja

No responses yet