“Masihkah kamu berharap pada hari-hari esok?” Pesan singkat baru saja meramaikan handphone-ku di pagi itu. Aku tidak tahu siapa yang memberi pesan pagi-pagi buta. Kacamata jauh dari jangkauan tangan, sedang silau sinar layar handphone membuatku tak kuat menatap lama. Tanpa mengindahkan pesan, aku tarik selimut, dan melanjutkan mimpi yang tertahan sejenak oleh dering suara handphone yang menyebalkan.
Di dalam mimpi di pagi itu, aku menikmati waktu dengan berselancar di atas lautan salju. Di atas papan seluncur, aku melepas segala duka dan sakit, hancur dan ketidakberdayaan, serta kekecewaan yang mendalam bersama keras teriak. Hingga tak sadar bahwa suaraku menggetarkan awan-awan, rintik hujan mulai berjatuhan terkena efek suaraku yang menggoyang awan hitam di satu waktu. Kesedihan memang energi yang amat kuat dan baik. Memberi rahmat bagi orang-orang meyakini tentang fenomena hujan. Tak peduli bahwa itu hasil dari kesedihanku yang begitu rumit.
Lautan salju begitu empuk, namun dingin, dan cepat membuat bosan. Kadang di pijakan kaki berbeda ia seperti es krim, tak segera dimakan maka mencair. Kadang seperti kesempatan tanpa kesiapan, maka yang ada tangan menggigil menggenggam salju lalu mati rasa karena tak memakai sarung. Walau demikian, lautan salju membuka mataku akan harapan yang putih. Tentang tujuan awal yang indah serta senyum-senyum yang kudamba di akhir cerita. Walau juga, aku tak tahu dimana akhir cerita itu berada.
Senyum-senyum yang kudamba terlihat seperti aurora di kutub utara: warna-warni selaras dan serasi. Membuatku berhenti sejenak setelah kegirangan menikmati salju yang tak ada di rumah. Aku lari kesana-kemari, menghampiri setiap sudut yang terbaluti oleh tebal salju lalu mencoba menebak ada apa di balik tebal salju tersebut. Senyum-senyum tadi membuatku sejenak merasa menjadi makhluk paling beruntung di dunia. Namun juga terselip janji-janji yang harus kupenuhi demi senyum-senyum itu. Hidup semakin asyik sahaja, semakin kompleks saja, semakin membuatku sadar bahwa aku harus benar-benar dapat hidup dan menghidupi orang lain.
Aku ambil beberapa salju lalu kukepalkan di tangan, lalu kulempar sampai jauh sambil menekan janji-janji itu kutepati. Tiba-tiba setelahnya aku tebangun dari tidur dan menyadari bahwa kipas angin masih menyala walau hari sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Aku ingin berterima kasih kepada kipas angin, karena dalam beberapa saat telah menemaniku menghadapi dunia yang kian panas.
Pada putaran kipas, aku akhirnya menyadari bahwa mimpi harus kita punyai, bahwa putarannya tak bisa kita hindari. Kipas berhenti, panas lagi. Maka, berterimakasihlah pada semua hal yang membuatmu berani bermimpi. Hanya pada itu, kita hidup lagi!