Tadi sore, angin seperti biasa, sejuk bukan main. Sehabis lari sore, membasuh diri, aku memutuskan untuk duduk sejenak. Aku perhatikan pohon-pohon, rumah-rumah di sekelilingku. Satu sama lain, di antara pohon-pohon, rumah-rumah itu berbeda. Setiap benda adalah unik. Lebih dari pohon-pohon, rumah-rumah, pun begitu dengan manusia, tiap-tiapya adalah unik.
Ilmu pengetahuan tentang personalitas hari-hari ini makin panas, menjelma seperti komplek perumahan yang di dalamnya terdapat blok-blok manusia. Ada yang mempunyai karakter sanguinis, melankolis, koleris, asertif hingga plagmatis. Tentu, dengan segala sifat turunannya. Keunikan ini menyeruak, menyebar, hingga menjadi kesadaran massal. Tak heran, gejala uniformasi, termasuk yang selama ini terjadi di sekolah-sekolah, kampus-kampus, menjadi musuh bersama kita hari ini. Belum lagi, fenomena pencarian atas minat bakat semakin menjadi-jadi. Kemudian, kata passion menjadi begitu lezat untuk jadi hidangan obrolan bahkan begitu popular.
Namun, mungkin sejenak kita dapat berpikir ulang atau mungkin mempertanyakan ulang, apa sebenarnya passion itu? “Follow your passion!” inilah kata yang sering aku dengar lewat seminar atau webinar. Tak sedikit Pembicara dalam satu acara berkata: Kerjakan yang kamu senangi, yang kamu sangat antusias karenanya, yang kamu tidak akan merasa bosan bahkan waktu pun tak terasa berlalu ketika kamu menggelutinya. Menurut Merriam-Webster Dictionary, Passion: a strong feeling of enthusiasm or excitement for something or about doing something. Sederhananya, dengan mengerjakan sesuatu yang merupakan passion kita, maka kita mengerjakan hal itu dengan senang dan antusias, sehingga bisa bertahan lama dan hasilnya pun optimal.
Tidak ada yang salah jika seseorang ingin mengejar passion. Yang harus digaris merah adalah apabila kesibukan mencari passion justru dijadikan pembenaran untuk enggan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang peluangnya ada di depan mata. Lantas dengan mudah kita bersembunyi dibalik kalimat “Ah, sepertinya itu bukan passion-ku!” Alih-alih kemajuan diri yang didapat, sikap aleman justru yang diidap.
Aku pernah mendengarkan Emha Ainun Najib di Kenduri Cinta yang memaparkan hal ini, yang menurutku lebih komprehensif untuk dijadikan konstruksi dalam menempuh pilihan-pilihan pekerjaan dan hidup, kata yang lebih lengkap untuk passion dan kita jadikan pegangan adalah fadlilah. Jika passion dominan pertimbangannya adalah perasaan suka dan tidak suka. Maka, fadlilah dalam konteks pencarian minat dan bakat harus ditempuh dengan meneliti rinci pelbagai hal yang Tuhan nasibkan kepada kita.
Banyak yang kita dapati adalah: mendaftar kuliah kok tidak sesuai dengan ingin kita, malah diterimanya di pilihan alternatif. Mendaftar kerja kok diterimanya berbeda dengan disiplin ilmu kuliah yang dulu diambil. Dan seterusnya, resultan dari perbedaan-perbedaan ingin dan harapan itu, dapat kita ambil sisi positif sebagai fadlilah yang Tuhan berikan tanda-tandanya, untuk memudahkan kita menemukan diri kita, menemukan minat dan bakat kita, menentukan jalan hidup, karier dan ketekunan kita.
Kita mesti menyadari bahwa setiap kita adalah unik. Kemudian adalah menemukan keunikan diri kita dengan akurat bermodal hitungan resultan dari apa yang Tuhan nasibkan kepada kita. Langkah berikutnya lagi, kita dapat mulai menekuni bidang dimana kita harus mengasah sisi tajam atas diri kita, menghimpun jam terbang di sisi itu. Masing-masing orang tentu berbeda satu sama lain. Ada orang yang Tuhan takdirkan kuat di sisi creator-nya, maka wajib mengasah dirinya dengan mengerjakan kreativitas-kreativitas penciptaan karya. Ada yang passionate dan digiring nasibnya menjadi communicator maka ia menekuni profesi mengubung-hubungkan orang, menjalinkan kerjasama-kerjasama. Yang kuat di analyst, memilih setia menjalani hidup di riset demi riset. Dan seterusnya.
Setiap sisi kuat diri selalulah berpasangan dengan sisi lemahnya. Ini adalah langkah berikutnya yang harus kita tempuh. Tak lain, agar jangan sampai kelemahan yang kita miliki justru menelan kekuatan diri. Misalnya seseorang memiliki kekuatan menganalisis, tetapi memiliki kelemahan dalam komunikasi. Jangan sampai hasil analisis yang brilian kemudian mandek terkubur hanya sebab gagal dikomunikasikan. Itu sebuah contoh di mana kelemahan menelan kelebihan diri kita.
Kelemahan-kelemahan diri inilah yang harus terus menerus dikelola dengan kecakapan hidup. Kecapakan yang dirancang dan dilaksanakan secara lebih fleksibel dan luas. Jika kelemahan kita adalah komunikasi, maka kecakapan kita adalah bukan soal membaur dengan banyak orang, menjalin relasi yang lebih luas. Jika kelemahan kita di bidang administrasi, maka kecakapan kita adalah bukan soal merapikan catatan-catatan dan jadwal. Dan seterusnya.
Sebab setiap kita adalah unik, maka kecakapan hidup kita tidak bisa hanya memfotokopi kecakapan orang lain, kita mesti pandai mengasahnya. Maka, pemahaman soal passion sudah saatnya kita kontruksikan ulang secara lengkap sebagai fadlilah yang tak terikat suka dan tidak suka, keren atau tidak keren. Acapkali, kita gamang dengan diri sendiri hanya karena ingin terlihat lebih baik dari orang lain, dan atau menjadi orang lain.
Bagiku passion – yang kita pahami – selama ini akhirnya bukan soal meghasilkan atau tidak menghasilkan. Tapi apakah kita dengan pelbagai minat dan bakat yang Tuhan berikan tanda-tandanya, dapat diselami secara maksimal atau tidak. Toh, nanti sudah jadi ahli di bidangnya. masa tak dicari-cari?