Kue Manis untuk Glen Waktu Ia Pulang

Sostel
2 min readApr 9, 2020

--

Waktu itu, aku baru saja menginjak bangku menengah atas. Tidak berbeda dengan sekolah menengah pertama, aku sangat menyukai kelas bahasa Indonesia dan Pendidikan Kewarganegaaraan. Waktu itu aku sungguh tak mengerti alasannya. Mungkin pengaruh Bapak di rumah yang amat senang mengamati berita-berita politik, atau mungkin buku-buku hukum Bapak di lemari yang tanpa ia tahu akau lahap dan habiskan, pun KUHP dan berbagai pengantar hukum yang awalnya sangat membosankan sebelum aku akhirnya mencoba mencari arti kata di KBBI tentang istilah hukum. Setelahnya, aku begitu adiksi. Mungkin ini adalah pintu pertama yang membuat aku sangat suka dengan politik dalam arti luas. Lalu singkat cerita, di sekolah saat mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, aku baru mengerti apa itu hak asasi. Pekerjaan Rumah tentang HAM diberikan Ibu guru pada waktu itu.

Internet aku telusuri jalannya, mencari rujukan tulisan yang mudah dimengerti tentang Hak Asasi. Aku menemukan salinan pidato Glen Fredly tentang demokrasi, pemuda, dan Hak Asasi di dalamnya juga sarat toleransi. Sejak saat itu aku mengaguminya, justru bukan pada lagu-lagunya. Aku demikian tercerahkan saat itu, bahwa ternyata bukan politisi saja yang dapat bicara soal demokrasi, namun setiap dari kita dapat berbicara hal yang sama. Glen, membuka mataku bahwa kita tak boleh diam dengan segala kegelisahan hari ini. Bahwa tugas kita bukan hanya mengisi hari demi hari demi sesuatu untuk diri sendiri. Setiap hembusan napas, ada panggilan untuk kita tidak boleh diam dan mendiamkan apa yang seharusnya baik.

Aku terkesima dengan tulisannya, maka akan sangat wajar jika lirik-lirik di dalam lagu-lagunya begitu dalam. Kekagumanku makin lengkap saat awal-awal bangku kuliah, aku beranikan sendiri ke Bandung untuk menonton konser Kampoeng Jazz di Unpad. Glen juga tampil di sana. Aksi panggungnya membuat aku mengerti betapa menyenangkannya menjadi diri sendiri dengan renjana. Membuat orang lain dapat bergoyang, juga menangis dalam 60 menit. Seolah memeberi pesan bahwa yang penting dalam hidup adalah membahagiakan orang lain. Juga yang tak akan aku lupa beberapa saat ia manggung, ia selalu berkata, “Indonesia bukan hanya Jakarta dan Jawa”. Glen bilang, “Matahari itu terbit dari Timur. Maka sepantasnya kita memanggil orang-orang di sana dengan sebutan kakak karena mereka mengecap matahari lebih dahulu”. Notasi khas maluku itu, akan selalu melekat dalam ingatan.

Hari ini, aku ingin memberikan kue terlezat yang pernah aku makan untuk Kakak Glen walau dalam hati kecil aku demikian ingin jua. Kue-kue itu dibungkus denga rapih dan dimasukan dalam kotak. Di atasnya kutulisan, “Mena!” bersama bekas air mata yang belum kering diujung kertas. Tak mungkin ada Glen yang lain.

--

--

Sostel
Sostel

Written by Sostel

Senang menulis dan berbagi apa saja

No responses yet