Tahun ini adalah tahun yang amat penuh tantangan, bukan hanya untuk saya, namun hampir semua warga dunia di planet ini. Bagi saya, tahun ini adalah tahun yang mungkin akan amat saya rindukan 10–15 tahun lagi. Pada saat itu, saya sudah dapat bercerita dengan anak-anak saya tentang pandemi, krisis, jatuh-bangun bisnis, dan dengan siapa saja saya bertemu dan berhubungan, tentu juga bagaimana negara dan dunia saat ini. Saya mungkin akan banyak menyesali banyak hal: kesempatan yang tidak saya jajaki, kebaikan yang mestinya dapat ditunaikan, mungkin juga dosa-dosa yang tak penting tapi saya lakukan dengan alasan saat ini yang harusnya masuk akal. Maka, pada masa depan itu saya dapat memproyeksikan diri dengan berpijak pada waktu “saat ini”.
Sebagai seorang yang tidak terlalu pintar, tidak terlalu pandai dalam sosial, tahun ini adalah tahun buat saya untuk mendobrak. Lebih banyak memperkaya diri dengan gagasan dan bacaan, lebih banyak berkomunikasi dengan lebih banyak orang yang berlatar belakang serta berprinsip yang signifikan berbeda dengan saya sendiri. Serta lebih sadar diri, bahwa tak ada yang saya miliki kecuali keberanian dan mentalitas belajar. Masa-masa krisis, akan banyak mengubah orang. Tak perlu teori untuk menjelaskan sifat asli manusia dengan segala bentuk egosentrikalnya. Saya bertemu dan berhubungan dengan pelabagai macam manusia, pada akhirnya manusia hanyalah manusia. Kesadaran ini, jadi rumus ampuh buat saya dalam memetakan pelbagai macam orang tadi. Termasuk menyadari dimana titik saya berada. Saya selalu megawalinya menjadi orang yang paling tak tahu di dunia.
Suatu ketika 10–15 tahun lagi, aku berada di ruangan berdua dengan diriku yang lama, bercerita tentang hal-hal yang kami sukai, hal yang sangat kami cintai. Kami membuka dengan kalimat, “apa kabar?” sebuah kalimat yang katanya hanya sebagai basa-basi, menurutku itu adalah pertanda kepedulian yang tak bisa diganti dengan kalimat, “ dari mana aja lo?”. Kami berkeluh kesah tentang betapa masa lalu membetuk kami hari ini. Menyebalkan ketika hal yang tak dapat kita lakukan malah menjelma momok di kemudian hari. Tidak dengan hati yang tenang, saya coba melarikan arah pembicaraan yang menurut saya sudah kurang menyenangkan. Menarik sedikit topik, lalu bercerita dengan terbahak tertawa terpingkal karena amat lucu. Masa lalu juga menyediakan keluguan dan kebodohan murni yang entah kenapa payah didefiniskan hari ini, tapi kami menikmatinya. Menjadikannya hal yang demikian menyenangkan hari itu. Saya larut degan diri saya sendiri di masa silam. Membicarakan masa lalu adalah waktu kontemplatif paling ampuh. Mengisi ulang energi paling cepat, maka wajar jika manusia senang sekali menceritakan, “saya dulu…”.
Tahun 2020 penuh dengan isu-su menarik. Penuh dengan intrik. Isu makro misalnya, saya mungkin tak dapat menyangga tentang bagaiamana isu pandemi begitu konspiratif. Pandemi memaksa orang untuk berdiam di rumah, dan dipaksa menggunakan internet untuk pelbagai kegiatan. Teknologi hari ini menjadi alat perang paling mutakhir. Bukan dengan rudal, nuklir, atau berbagai macam jenis senjata api canggih, namun lebih mendasar dari itu, menyasar dan menggeser kebutuhan hidup manusia, menyisipkan hal baru pada perilaku dan kebiasaan, pada suatu ketika dapat membaca bagaimana hasrat manusia bekerja. Lalu, teknologi sudah dapat membaca hasrat tersebut lebih dahulu dibanding keputusan manusia itu sendiri. Tahun 2020 mungkin menurutku adalah gerbang semua kemajuan itu. Bak sebuah studi kasus besar-besaran, pandemi sudah cukup mengingatkan kita bahkan lebih sebagai pengumuman besar bahwa era baru sudah dimulai.
Saya cukup merasa senang, di satu sisi saya menyadari bahwa saya jauh sekali tertinggal. Di saat yang bisa saya lakukan hanyalah hal kecil: bertahan hidup, ada orang yang sudah pada tahap menjadikan dunia jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Apapun itu, saya sangat tak sabar menjalani hari-hari di tahun yang baru. Semoga menjadi tahun yang baik.
Angkat Gelas!