Cerita Senin Petang tentang Petang Kemarin

Sostel
2 min readSep 23, 2019

--

Seorang Ibu menjemput petang dengan perasaan damai, bersama suaminya turun dari lembah yang sejak 20 tahun lalu ditanami pohon kopi. Keranjang berisi rantang, botol minuman, pisau, dan peralatan sembahyang dibawa pulang. Raut muka yang lega dan lelah bercampur menunjukkan ekspresi lain. Memberi ruang pada bahasa lain, pada perasaan yang dengan dalam tak bisa kita salami hingga menyentuh dasarnya. Mereka berjalan, menggendong harapan demi hari esok yang selalu ingin mereka dapati dengan kondisi pengharapan yang sama, dan keyakinan bahwa esok akan lebih baik.

Kicauan burung, menemani langkah demi langkah menuju rumah. Jalan-jalan setapak menurun yang becek jika hujan turun. Ranting-ranting yang menganggu, dan rumput-rumput menjalar, berebut tempat agar tak ditapaki menjadi perhatian utama mereka. Di dalam kepala mereka terdengar jeritan pohon bambu yang pilu diterpa sepi, atau jangkrik yang iseng bersuara tinggi. Segala dialektika alam, menari-nari di pangkal pandangan. Segala resah mereka tampung dalam dada.

Di depan pintu, seorang anak menunggu. Di matanya, terlihat dunia begitu lugu. “Ibu dan Bapak pulaaaang”, katanya pelan sambil melompat kegirangan. Ibu dan suami tak dapat berkata lain selain diam. Mereka pupuk keyakinan, terang tujuan, penuh ilmu, bahkan seorang lain dalam diri mereka sendiri tak payah berdoa dan mengamini pelbagai bentuk mimpi. Masa depan milik seorang anak yang dipunggungnya dibebani kerasanya hari-hari kemarin. Di bahunya diberi tanda bahwa pilihan hidup hanya satu, simpul senyum Bapak dan Ibu.

Malam tiba, lisrik menyala. Ibu lelah, Bapak tak lagi bertenaga. Sedang anak mereka masih seperti malam kemarin, belajar mengeja huruf demi huruf, mengenal angka demi angka, merajutnya menjadi kalimat hingga paragraf hidup. Menambah, membagi, mengkali, dan mengurangi angka-angka hingga pandai menghitung tanggung jawab. Lelah dan tak bertanaga tak cukup menjadi alasan akan bara masa depan yang harus dijaga hangatnya, bila perlu menyala apinya hingga menerangi banyak ruang-ruang lain.

Kantuk mengetuk pintu kamar, dibuka lalu mereka tidur bersama. Jika esok masih ada, tak akan adalah keluh dan resah. Hanya tetesan peluh, yang tiada terasa terkumpul menjadi lautan luas tempat segala bentuk perahu dan kapal berisi angan disalurkan demi masa depan. “Tuhan yang segala, biar dunia tak dapat kami genggam, izinkan surga kami dekap atas nama sayang”.

--

--

Sostel
Sostel

Written by Sostel

Senang menulis dan berbagi apa saja

No responses yet