Cerita Aku yang Tak Pernah Aku Lupa

Sostel
3 min readMar 12, 2019

--

Rumah nenek tak begitu luas, namun tak begitu kecil untuk kami yang selalu nyaman dengan arti hangat. Rumah nenek menjadi pijakan pertama aku menikmati khayal yang bebas untuk aku jajaki. Rumah nenek adalah tempat dimana aku menikmati cara bertutur penyiar daerah lewat radio dan berandai-andai menjadi penyiar saat itu juga. Aku hari ini merasakan seperti aku sedang duduk di depan jendela kecil di rumah nenek sambil menikmati lagu-lagu popular di tahun itu. Dari sini, aku mulai berani menyatakan bahwa yang berat untuk ditinggalkan dari sebuah rumah bukan pada indah bangunan, namun segala kenangan yang membekas seperti jejak di setiap sudut dan hamparannya serta hangat kenangan yang memeluk dan memenuhi ingatan hingga meluber kemana-mana.

Aku kadang bosan dengan lagu-lagu yang diputar di radio. Aku seperti dipaksa melakukan hal yang sama berulang-ulang kali. Mungkin ini yang menjadi awal pembentukan watak aku yang tak senang dengan rutinitas dan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi baku. Di belah lain, kegiatan nenek yang rutin menyalakan radio malah membuat aku biasa untuk menerima segala hal yang tak aku senangi dalam hidup. Aku dibiasakan untuk tak cepat berkata tidak pada sesuatu yang baru, atau terlampau cepat berkata bahwa aku tidak biasa dengannya. Jikalau banyak orang sengaja membuat jarak untuk mendapatkan hal baru dan ilmu baru, nenek malah ingin berujar jika tak usah terlalu jauh mencari sesuatu. Bahwa yang membuat kendali atas jauh dan tidaknya objek adalah kita sendiri. Tinggal yang harus disesuaikan adalah sudut melihat objek itu sesuai arah tuju. Bahkan menikmati segala arah untuk melihat suatu objek.

Keras suara radio juga kadang membuatku jengkel. Terdengar seperti banyak orang berbicara bersamaan dalam topik bahasan berbeda-beda, seperti kelompok tongkrongan yang membagi topik sesuai dengan siapa yang antusias dengan topik bahasan itu, lalu mulailah satu kelompok besar terbagi menjadi beberapa kelompok kecil. Aku di depan gawai senyam-senyum sendiri menuliskan hal ini. Nenek lagi-lagi ingin menekankan satu hal; manusia cenderung ingin mendengar apa yang ingin ia dengar, cenderung melihat apa yang ingin ia lihat sahaja. Nenek menjelma ahli nujum sifat manusia di siang bolong. Begitu banyak hal remeh yang menjadi landasan memahami orang lain. Masalah yang timbul kemudian untuk aku adalah, apakah aku dapat menyelami setiap hal-hal yang tak tersurat itu dengan bijaksana dan dengan pemahaman yang cukup? Aku selalu ingin mengulik pelbagai pelajaran itu, namun seringkali tak dapat kugapai, seolah-olah bahwa yang aku dapatkan harus selaras dengan dan kematangan diri aku sendiri. Nenek benar, semua ada waktunya. Tak usah terlalu tergesah dan terburu-buru, bahwa kedinamisan adalah niscaya maka patutlah dipegang sebagai bekal berlaku.

Lagi-lagi aku merasakan seperti berada di depan jendela kecil di rumah nenek. Aku merasakan dapat menikmati cubitan angin di pukul dua sore yang sejuk dan menentramkan walau cuaca sedang panas dan cukup menyebalkan untuk seorang anak kecil yang senang sekali berburu capung di luar rumah. Nenek bilang, “di rumah sahaja, di luar panas”. Seolah nenek ingin menasehati aku; ada hal yang tak mungkin kita hindari dan itu mampir bahkan melekat di hidup kita. Ada yang dapat kita usahakan, ada yang harus kita terima sahaja dengan lapang penerimaan tanpa harus bergumam dengan alasan. Aku haru sekali saat menuliskan ini. Apakah ini bentuk ketidakberdayaan aku yang mampu mencerna segala rupa nasehat nenek kala itu, merasakan bagaimana aku melepas segala ikatan penting dari waktu yang sengaja dibuatkan untuk aku belajar. Tapi nenek juga seolah ingin bilang bahwa “cucuku yang manis, keras kicauan burung tak berarti tanpa kamu menikmati bunyi. Keras suara piring jatuh tak berarti bila gunanya hanya dipajang di dinding rumah”.

Seorang aku sedang tersender di sebuah tiang penyangga rumah membaca tulisan aku yang lain, menikmati tingkah laku nenek aku yang ia bilang kolot di dalam kening yang berisi penuh kenangan. Sambil mencium-cium jaket hoodie hadiah hari lahir dari neneknya yang entah kapan ia temui. Apakah waktu demikian cepat berlalu hingga cerita aku yang tadi itu tak pernah ditemui lagi. Cerita aku itu entah hilang atau pergi kemana. Entah ia akan memilih siapa lagi untuk membaca dirinya yang begitu penuh dengan apa serta mengapa. Atau malah ia mengisyaratkan satu hal; buatlah cerita aku yang lain dan pilihlah pembaca setepat mungkin lalu menghilanglah lagi agar kamu mengerti bagaimana pentingnya bab terakhir di buku itu.

--

--

Sostel
Sostel

Written by Sostel

Senang menulis dan berbagi apa saja

No responses yet